sehat site

selamat datang di blog kami
dapatkan info -info berguna
yang menambah wawasan anda

Rabu, 21 Oktober 2009

Mereka Yang Difatwakan Sesat

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Beberapa waktu lalu kami melihat tayangan televisi Kupas Tuntas yang membahas seputar Fatwa MUI tentang Ahmadiyah, yang mengatakan bahwa organisasi/paham tersebut adalah Sesat Menyesatkan.


Pada acara tersebut diundang 2 (dua) orang narasumber, masing-masing dari MUI yaitu Ketua MUI Pusat Bpk. Ma’ruf Amin dan seorang juru dakwah dari Ahmadiyah. Acara tersebut awalnya membahas tentang fatwa MUI yang malah dijadikan alasan oleh ormas islam untuk melakukan tindakan anarkhis kepada Ahmadiyah dan dilanjutkan adu argumen mengenai alasan MUI memberikan fatwa bahwa Ahmadiyah termasuk Sesat/menyesatkan.

Kami mendapat kesan mengenai penjelasan juru dakwah Ahmadiyah pada acara tersebut pada dasarnya Ahmadiyah menolak untuk dikatakan sesat, alasannya adalah sebagai berikut:

  1. Mereka menolak pendapat bahwa tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, mereka menafsirkan pada QS Al Ahzab ayat 40 adalah nabi yang paling mulia, hal ini berbeda dengan penafsiran para mufasir umumnya yang menafsirkan dengan penutup para nabi. 
  2. Karena berbeda penafsiran pada point 1 di atas, mereka mempercayai bahwa Ghulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah) adalah sebagai nabi.
    Dua point di atas selintas terlihat sepele, tapi sebenarnya merupakan kesalahan fatal dalam menafsirkan al-Qur’an. Kenapa kami katakan fatal, alasannya karena hal tersebut yang menyebabkan dijadikannya pembenaran bahwa Ghulam Ahmad juga merupakan nabi baru, tetapi nabi baru yang tidak membawa syari’at.Apabila syari’at Ahmadiyah benar tidak ada yang berbeda dengan umat islam, maka yang membedakan Ahmadiyah dengan Umat Islam adalah mengenai Aqidah. Dimana perihal Nabi Muhammad SAW adalah merupakan Nabi dan Rasul terakhir/penutup - yang juga merupakan tergolong pada permasalahan Aqidah - sudah tidak diperdebatkan lagi oleh umat islam di seluruh penjuru dunia dari masa awal perkembangan islam hingga tepatnya pada tahun 1428 Hijriyah saat ini. Hal ini tercatat dalam sejarah bahwa para sahabat menolak dan memerangi maraknya Nabi-nabi baru setelah Rasulullah SAW wafat.[1]



Aqidah Ahmadiyah


Ahmadiyah mengatakan bahwa syari’at mereka tidak berbeda dengan umat islam pada umumnya, tapi bagaimana dengan Aqidah mereka? Berikut ini kami tuliskan mengenai Aqidah Ahmadiyah.
  1. Ahmadiyah berkeyakinan bahwa tuhan mereka – yang mereka sebut Allah – adalah menjalankan puasa, salat, tidur, jaga, menulis, bertandatangan, hubungan seksual, melahirkan anak, dan sebagainya. Tuhan mereka seperti mahluk juga, mempunyai tubuh yang anggotanya meliputi dunia ini. Keterangan ini terdapat dalam kitab al-Busyra, juz ii/hal. 97,79; kitab Haqiqah ak-Wahy, hal. 255; dan kitab Taudhih al-Maram, hal. 175, semuanya karya Ghulam Ahmad. 
  2. Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW bukan Nabi terakhir. Mahmud Ahmad, putra Ghulam Ahmad berkata,”Kami (orang-orang Ahmadiyah) berkeyakinan bahwa Allah tetap mengutus para Nabi untuk memperbaiki umat manusia sesuai kebutuhan”. (Harian al-Fadhl, 14 Mei 1925). Berangkat dari sini, bahwa setiap ayat al-Qur’an atau Hadis yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir oleh orang Ahmadiyah dibelokkan artinya kepada arti lain. 
  3. Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Ghulam Ahmad adalah nabi dan rasul Allah. Ghulam Ahmad berkata,”Saya bersumpah, demi Allah yang menguasaik ruhku, Allah-lah yang mengutusku dan Dia-lah yang menyebutku sebagai nabi”.(Ghulam Ahmad, Titimmah Haqiqah al-Wahy, hal. 68). Ia juga berkata, ”Dia-lah tuhan yang haq, yang mengutus rasulnya di Qadian. (Ghulam Ahmad, Dafi’ al-Bala, hal. 10-11). Qadian adalah desa kelahiran Ghulam Ahmad. 
  4. Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Allah menurunkan kitab suci kepada Ghulam Ahmad, yang disebut al-Kitab al-Mubin. Muhammad Yusuf pengikut Ghulam Ahmad berkata, “Allah menamakan kumpulan ilham Ghulam Ahmad dengan al-Kitab al-Mubin, dan Allah menamakan satu ilham dengan satu ayat”. (Muhammad Yusuf, al-Nubuwwah fi al-Ilham, hal. 43) 
  5. Ahmadiyah berkeyakinan bahwa ibadah haji adalah muktamar tahunan di Qadian. Mahmud Ahmad, putra Ghulam Ahmad berkata, “Muktamar tahunan kami adalah ibadah haji. Dan Allah memilih tempat untuk (muktamar) itu di Qadian”. (Mahmud Ahmad, Barakat al-Khilafah, hal. 587). Ia juga menulis dalam koran Ahmadiyah Bigham Shalah, edisi April 1933, “Tidak sah Islam seseorang tanpa beriman kepada Ghulam Ahmad, sebagaimana tidak sah ibadah haji tanpa mendatangi Muktamar Qadian”. 
  6. Ahmadiyah berkeyakinan bahwa orang yang tidak beriman kepada Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul adalah kafir. Ghulam Ahmad berkata, “Orang yang tidak beriman kepadaku, maka ia berarti tidak beriman kepada Allah dan RasulNya”. (Ghulam Ahmad, Haqiqah al-Wahy, hal. 163).[2]

Penafsiran Ahmadiyah


Sepertinya yang sudah dituliskan di atas Ahmadiyah berkeyakinan bahwa Allah tetap mengutus para nabi sesuai kebutuhan, maka berangkat dari situ Ahmadiyah membelokkan ayat al-Qur’an atau Hadis yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir. Ahmadiyah membelokkan kalimat wa khatam al-nabiyin (artinya: dan Muhammad adalah penutup para nabi) dalam surat al-Ahzab ayat 40 menjadi Muhammad adalah nabi yang paling mulia.


Penafsiran seperti hal di atas yang dikemukakan Ahmadiyah bertentangan dengan penafsiran para mufasir pada umumnya. Imam Ibnu Katsir mengatakan “Ayat 40 surat al-Ahzab ini merupakan nas yang menunjukkan bahwa tidak ada lagi nabi sesudah Nabi Muhammad, dan apabila sudah tidak ada lagi nabi, maka terlebih lagi rasul. Karena kedudukan rasul bersifat lebih khuhus daripada kedudukan nabi. Dengan kata lain, setiap rasul pasti nabi, tetapi tidak sebaliknya. Hal ini telah disebutkan oleh banyak hadis mutawatir dari Rasulullah SAW melalui riwayat sejumlah para sahabat radiyallahu ‘anhum”.[3] Begitu juga dengan penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, “Kata khatam terambil dari kata khatm yakni mencap atau menyetempel, dan memberi bekas kepada sesuatu. Ia juga digunakan dalam arti jaminan kebenaran sesuatu, serupa dengan stempel buat surat. Kata ini digunakan juga dalam arti mencapai batas akhir seperti jika Anda berkata: “Mengkhatamkan al-Qur’an” yakni mencapai batas akhirnya. Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir. Perjalanan para nabi sejak Adam as. mencapai batas akhirnya dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW.”[4]



Penafsiran para mufasir yang kami sebutkan tersebut tidak bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya aku mempunyai beberapa nama: Akulah Muhammad, akulah Ahmad, akulah al-Mahi, yang artinya Allah menghapus kekufuran melaluiku, akulah al-Hasyr yang artinya manusia digiring melalui kedua telapak kakiku; dan akulah al-Aqib yang artinya tidak ada lagi nabi sesudahku.”[5]


Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran adalah unsur subyektivitas mufasir[6], maka sepertinya penafsiran Ahmadiyah yang menafikan nas-nas yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul Allah yang terakhir adalah berdasarkan subyektivitas dari Ahmadiyah itu sendiri yang mempunyai kepentingan dan ingin mengkultuskan Ghulam Ahmad sebagai Nabi mereka.


Sebuah hadis Nabi SAW yang bernilai hasan yang diriwayatkan dari Imam al-Tirmidzi menyebutkan, “Siapa yang menafsiri al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka siap-siaplah ia untuk masuk neraka”.[7]



Disini dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan antara Ahmadiyah dan Umat Islam pada umumnya adalah mengenai permasalahan Aqidah, akan tetapi kiranya kita (Umat Islam) bertindak dewasa dalam menyikapi paham Ahmadiyah ini. Apabila MUI telah mengeluarkan fatwa sesat, cukuplah kiranya hal tersebut ditindaklanjuti melalui jalur hukum, tidak melanggar hukum dan tidak melakukan perbuatan yang mengarah anarkhis atau bahkan anarkhis.


Wassalammu’alaikum Wr. Wb.



  1. Dapat dilihat pada MM. Azami, The History The Qur’anic Text (terjemahan) h. 37-39.
  2. Ali Mustafa Ya’qub, Islam Masa Kini, h. 96-97
  3. Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Sinar Baru Algesindo, Jilid 22, h. 60.
  4. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 11, h. 286.
  5. Riwayat Al Bukhari, Pembahasan tentang Manaqib bab Nama-nama Rasulullah (3532), Muslim,  Pembahasan tentang berbagai keutamaan, bab “Nama-nama Nabi SAW”, hadis (2354), Ahmad dalam al Musnad (16292), Malik dalam al Muwatta(1836)
  6. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 119.
  7. Ali Mustafa Ya’qub, Loc. Cit, h. 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger